Likuiditas Melimpah Namun Kredit Bank Tersendat, Pengusaha Menunggu Dan Melihat?
Daftar isi:
Pertumbuhan kredit di Indonesia saat ini belum menunjukkan perkembangan yang signifikan, meskipun likuiditas perbankan dalam keadaan longgar. Kondisi ini disebabkan oleh sikap pelaku usaha yang lebih memilih untuk menunggu sebelum melakukan penarikan kredit baru guna mendukung ekspansi mereka.
Ketua Umum Perbanas, Hery Gunardi, mengungkapkan bahwa likuiditas perbankan sepanjang tahun 2025 berada dalam posisi kuat. Hal ini tercermin dari rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) yang mengalami penurunan, dengan posisi industri saat ini berada di kisaran 84% dari batas yang ditetapkan.
Dalam konteks ini, Hery menjelaskan bahwa regulasi dari OJK dan Bank Indonesia menetapkan batas LDR di bawah 92%. Artinya, bank memiliki likuiditas yang cukup untuk melakukan ekspansi, menjadi tanda positif bagi perkembangan sektor perbankan di tanah air.
“Dengan kondisi ini, kita dapat melihat bahwa bank memiliki cukup uang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi,” jelas Hery dalam sebuah konferensi pers. Ia menekankan aktifnya pemerintah dan Bank Indonesia dalam mendorong kebijakan pro-growth yang diperlukan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi pelaku usaha.
Hery juga menyoroti bahwa relaksasi terhadap giro wajib minimum (GWM) telah memperluas kapasitas penyaluran kredit. Ini menjadi salah satu bentuk kebijakan yang mendukung likuiditas sektor perbankan. Namun, ia mengingatkan bahwa banyak debitur masih menunda pencairan kredit yang telah disetujui.
Terdapat banyak debitur yang memperoleh plafon kredit namun memilih untuk menunggu momen yang lebih tepat untuk menyalurkan dananya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku usaha masih dalam posisi menunggu untuk melihat peluang sebelum melanjutkan ekspansi bisnis mereka.
Penyebab Pertumbuhan Kredit yang Lesu di Indonesia
Salah satu faktor yang mengecilkan permintaan kredit adalah melemahnya daya beli masyarakat segmen menengah ke bawah. Kondisi ini juga berimbas pada permintaan kredit konsumsi yang tidak sekuat seperti tahun-tahun sebelumnya.
Ketua Bidang Riset dan Kajian Ekonomi serta Perbankan Perbanas, Aviliani, mengungkapkan bahwa sekitar 68% pelaku usaha menilai ada tiga stimulus utama yang dapat memperkuat sektor riil. Ketiga stimulus tersebut mencakup penempatan dana Rp200 triliun, penurunan suku bunga, serta penyesuaian GWM oleh Bank Indonesia.
Namun, menarik perhatian adalah kenyataan bahwa hanya 39% perusahaan yang menyatakan siap berinvestasi dalam waktu dekat. Hal ini menunjukkan masih dominannya sikap wait and see di kalangan para pelaku usaha, yang terhambat oleh ketidakpastian yang ada.
Di sisi lain, mencolok bahwa sekitar 36% perusahaan merasa mendapatkan dampak positif dari kebijakan yang telah diterapkan. Artinya, 60% pelaku usaha masih merasa bahwa kebijakan yang ada belum cukup untuk mendorong mereka melakukan ekspansi lebih lanjut.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak pelaku usaha yang ragu dan belum melihat manfaat langsung dari kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, perlu ada langkah-langkah pemerintah yang lebih strategis agar kepercayaan pelaku usaha dapat meningkat,” kata Aviliani.
Kebijakan yang Diperlukan untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi
Kondisi likuiditas yang memadai sebenarnya memberikan peluang yang baik bagi pelaku usaha untuk memanfaatkan momen pertumbuhan ekonomi. Namun, rasa optimisme tidak bisa begitu saja tumbuh tanpa adanya dukungan kebijakan yang jelas dan terarah.
Pemerintah perlu terus merumuskan kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan dunia usaha. Regulator dan pihak berwenang harus mendorong penyerapan kredit melalui berbagai skema yang menarik dan memberikan insentif bagi pelaku usaha.
Strategi yang komprehensif dalam penyaluran kredit juga menjadi hal yang relevan untuk dibahas. Misalnya, memberikan fasilitas khusus untuk sektor-sektor yang terdampak akibat kondisi ekonomi global. Ini dapat memberikan harapan bagi banyak pengusaha kecil dan menengah untuk mendapatkan akses terhadap kredit.
Kebijakan yang berpihak kepada pengusaha harus diimbangi dengan perlindungan terhadap konsumen. Tanpa kepercayaan dari konsumen, pertumbuhan ekonomi akan terhambat, sebab konsumsi memiliki peranan yang vital dalam mendorong pertumbuhan sektor bisnis.
Pada akhirnya, sinergi antara pemerintah, bank, dan pelaku usaha adalah kunci untuk memajukan ekonomi. Kerjasama ini harus dikembangkan dalam upaya menciptakan iklim yang sehat dan berdaya saing, yang memungkinkan seluruh pihak meraih keuntungan di tengah persaingan yang semakin ketat.
Masa Depan Sektor Perbankan dan Ekonomi Indonesia
Dengan likuiditas yang memadai, sektor perbankan memiliki potensi besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pelaku usaha perlu merasa yakin untuk memanfaatkan peluang tersebut tanpa rasa ragu yang berkepanjangan.
Penting untuk menekankan bahwa terbukanya akses terhadap pembiayaan tidak hanya bergantung pada kebijakan moneter semata. Perlu adanya dukungan dari sisi regulasi dan infrastruktur yang mendorong sektor riil untuk berkembang lebih cepat.
Masa depan sektor perbankan juga tergantung pada kemampuan untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang terus bergerak cepat. Inovasi dalam produk dan layanan yang ditawarkan akan menjadi faktor penentu daya saing bank dalam jangka panjang.
Dengan implementasi kebijakan yang tepat, serta adanya kerjasama yang erat antara pemerintah dan sektor swasta, Indonesia akan memiliki peluang besar untuk berhasil mengatasi tantangan ekonomi yang ada dan menciptakan momentum pertumbuhan yang berkelanjutan.
Melalui langkah-langkah strategis, diharapkan sektor perbankan bisa menjadi pionir dalam pengembangan ekonomi nasional. Dengan demikian, harapan untuk menciptakan ekonomi yang nyata dan berdaya saing akan terwujud dengan lebih cepat dan optimal.







