Kajari dan Kasi Intel HSU Kalsel Jadi Tersangka dalam Kasus Dugaan Pemerasan
Daftar isi:
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan tiga pejabat penting di Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan. Penetapan ini dilakukan setelah dilakukan penyelidikan dan ditemukan cukup bukti untuk memproses lebih lanjut kegiatan yang melanggar hukum ini, termasuk keterlibatan pejabat tinggi lainnya dalam kasus tersebut.
Ketiga pejabat tersebut adalah Kepala Kejaksaan Negeri Hulu Sungai Utara, Albertinus Parlinggoman Napitupulu, Kepala Seksi Intelijen, Asis Budianto, dan Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara, Tri Taruna Fariadi. Namun, Tri Taruna masih dalam pelarian dan statusnya sebagai tersangka belum bisa diproses lebih lanjut.
Kasus ini terungkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada tanggal 18 Desember 2025. Dalam operasi tersebut, KPK berhasil menangkap 21 orang dari lingkungan Kejari serta pihak terkait lainnya.
Rincian Kasus yang Melibatkan Pejabat Publik
Setelah penyelidikan lebih lanjut, KPK menemukan bahwa Albertinus diduga menerima aliran uang minimal sebesar Rp804 juta dari sejumlah perangkat daerah. Uang tersebut diperoleh melalui tindakan pemerasan yang dialamatkan kepada Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pekerjaan Umum.
Modus operandi yang digunakan adalah menakuti para pejabat dengan ancaman bahwa laporan pengaduan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak akan diproses jika mereka tidak memenuhi permintaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa praktik korupsi telah merusak integritas lembaga penegak hukum.
Dari total Rp804 juta yang diterima, bagian besar berasal dari Dinas Pendidikan dan RSUD. Besaran anggaran ini mencerminkan bagaimana pemerasan secara sistematis telah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama.
Penerimaan Uang Lain yang Mencurigakan
Tindak lanjut dari dugaan tindak pemerasan ini juga membawa fakta baru mengenai praktik pemotongan anggaran yang dilakukan Albertinus. Diduga, ia memotong dana operasional dari pencairan anggaran tanpa prosedur yang sah, menjadikan uang tersebut sebagai pemasukan pribadinya.
Pemotongan ini dilakukan dengan pengajuan pencairan Tambahan Uang Persediaan (TUP) yang dikelola dengan cara tidak transparan, mencapai Rp257 juta. Uang tersebut seharusnya digunakan untuk keperluan dinas, namun disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Lebih lanjut, Albertinus juga diduga menerima transfer tambahan dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan lainnya, sehingga total dana yang diterima diperkirakan bisa mencapai Rp450 juta. Ini menunjukkan adanya jaringan luas antara pejabat dan pelanggaran yang terorganisasi dengan baik.
Dampak dan Respon Masyarakat terhadap Korupsi
Kejadian ini menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan masyarakat terkait maraknya praktik korupsi di institusi publik. KPK tidak hanya mengejar korupsi, tetapi juga berupaya memperbaiki citra penegakan hukum di Indonesia yang sudah tercoreng oleh aksi-aksi tidak terpuji ini.
Masyarakat diharapkan lebih berpartisipasi dalam pengawasan dan pelaporan tindakan korupsi. Dukungan dari semua pihak, termasuk masyarakat, dinilai sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang bersih dari praktik kotor seperti pemerasan dan korupsi.
Pihak KPK mengapresiasi kerjasama masyarakat dan pihak berwenang dalam membantu mengungkap praktik korupsi ini. Ini adalah langkah penting menuju perbaikan sistem pemerintahan dan peningkatan transparansi.







