Puncak Gunung Fuji Milik Siapa? Begini Penjelasannya
Daftar isi:
Puncak Gunung – Gunung Fuji adalah salah satu ikon paling terkenal dari Jepang, dikenal sebagai simbol keindahan alam dan budaya negeri Sakura. Selama berabad-abad, Gunung Fuji telah menjadi inspirasi dalam seni, sastra, dan spiritualitas masyarakat Jepang. Namun, ada fakta menarik yang mungkin belum banyak diketahui: Gunung Fuji bukanlah kekayaan alam yang seluruhnya dimiliki oleh pemerintah Jepang.
Meskipun statusnya sebagai salah satu situs Warisan Dunia UNESCO, kepemilikan Gunung Fuji ternyata memiliki aspek yang lebih kompleks. Tidak semua bagian gunung ini dikelola langsung oleh pemerintah; sebagian besar area, terutama bagian puncaknya, justru dimiliki oleh pihak swasta. Hal ini mencerminkan hubungan unik antara sejarah, budaya, dan hukum kepemilikan yang berlaku di Jepang.
Dengan statusnya yang ikonis dan penting bagi masyarakat Jepang maupun dunia, Gunung Fuji tetap menjadi kebanggaan nasional, meskipun aspek kepemilikannya terbagi antara berbagai entitas.
Siapa Pemilik Puncak Gunung Fuji?
Melansir dari Japan Today, kepemilikan Gunung Fuji saat ini terbagi menjadi dua bagian. Pemerintah Jepang hanya memiliki wilayah dari kaki gunung hingga ketinggian 3.360 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sementara itu, bagian puncaknya yang berada di ketinggian 3.360 hingga 3.776 mdpl adalah tanah privat atau milik pribadi.
Namun, penting untuk diketahui bahwa puncak Gunung Fuji bukanlah milik perseorangan atau perusahaan, melainkan dimiliki oleh sebuah kuil agama Shinto bernama Fujisan Hongu Sengen Taisha atau Kuil Agung Sengen.
Sejarah Kepemilikan Puncak Gunung Fuji
Jika kita menelusuri sejarahnya, wilayah puncak Gunung Fuji dulunya dimiliki oleh Tokugawa Ieyasu, seorang shogun atau jenderal besar kekaisaran Jepang yang berperan penting dalam sejarah Jepang. Pada tahun 1606, Tokugawa Ieyasu memutuskan untuk memberikan wilayah puncak gunung tersebut kepada Kuil Agung Sengen, yang hingga saat ini tetap menjadi pemilik resmi puncak Gunung Fuji.
Fujisan Hongu Sengen Taisha adalah kuil Shinto yang memiliki hubungan erat dengan Gunung Fuji, karena gunung ini dianggap sebagai tempat suci dalam kepercayaan Shinto. Kepemilikan ini mencerminkan pentingnya Gunung Fuji sebagai simbol spiritual dan budaya, bukan sekadar objek geografis.
Sejarah Kepemilikan Puncak Gunung Fuji: Dari Pemerintah ke Kuil Agung Sengen
Pada masa pemerintahan Kekaisaran Meiji, pemerintah Jepang mengambil alih seluruh kuil Shinto di negara tersebut, termasuk Kuil Agung Sengen. Akibatnya, Gunung Fuji sempat menjadi sepenuhnya milik pemerintah Jepang dan berstatus sebagai area publik.
Namun, perubahan besar terjadi setelah Konstitusi Jepang yang baru ditetapkan pada tahun 1949, yang memisahkan antara agama dan negara. Semua properti dan bangunan keagamaan yang sebelumnya dimiliki oleh pemerintah dikembalikan kepada kuil masing-masing, kecuali Gunung Fuji.
Tuntutan Kuil Agung Sengen
Karena puncak Gunung Fuji tidak dikembalikan, Kuil Agung Sengen mengajukan tuntutan hukum untuk mendapatkan kembali wilayah puncak gunung tersebut. Pada tahun 1974, pengadilan mengakui bahwa puncak Gunung Fuji secara sah adalah milik Kuil Agung Sengen. Proses resmi untuk pengembalian tanah tersebut selesai pada tahun 2004, menjadikan puncak Gunung Fuji sebagai tanah privat milik kuil.
Kendala Pendaftaran Kepemilikan Resmi
Meskipun telah mendapatkan hak atas puncak Gunung Fuji, hingga kini Kuil Agung Sengen belum mendaftarkan diri sebagai pemilik resmi. Hal ini disebabkan oleh letak Gunung Fuji yang berada di perbatasan antara Prefektur Shizuoka dan Yamanashi, dengan kondisi geografis yang membuat batas wilayah menjadi tidak jelas. Karena ketidakpastian ini, kuil tidak dapat mendaftarkan kepemilikan atas tanah tersebut ke salah satu prefektur.
Akses Publik ke Puncak Gunung Fuji
Walaupun puncak Gunung Fuji adalah tanah privat, publik tetap diperbolehkan untuk mendaki ke puncak gunung, termasuk memasuki area Kuil Agung Sengen yang berada di sana. Pemerintah Jepang dan kuil memastikan bahwa Gunung Fuji tetap menjadi destinasi yang dapat dinikmati oleh masyarakat umum, sekaligus menjaga nilai spiritual dan budaya yang melekat pada gunung ini.
Baca juga artikel lainnya dari cuaninaja.id